Siapa (tidak) mau KPK dipertahankan?


Gedung KPK

Hari ini bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2021, 1.271 pegawai KPK resmi dilantik sebagai Aparatur Sipil Negara. Entah suatu kebetulan atau memang dimaksudkan sebagai simbolisme, pemilihan waktu pelantikan di momen sakral bagi bangsa Indonesia seolah seperti ingin mengirimkan pesan atau jawaban atas polemik yang terjadi belakangan ini. Dengan dalih tidak bisa dibina dan tidak masuk kategori jiwa Pancasila/ nasionalis, 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diadakan KPK bersama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Hal ini dengan gamblang terlihat dari isi pertanyaan dalam TWK tersebut. Teranyar yang terekspos ke publik adanya pertanyaan: pilih Al Quran atau Pancasila?.

Rasanya saya merasa bodoh sendiri kalau mengulas situasi ini berdasarkan data empiris atau perspektif akademis atau malah dari sudut politik intelektual. Wawasan dari gelar sarjana hukum saya tidak sampai ke sana. Pengalaman saya sebagai jurnalis yang bolak-balik berhadapan dengan isu korupsi, termasuk berhadapan dan mewawancarai langsung Pimpinan KPK dari berbagai periode dan pelaku korupsi tersohor di negeri ini, juga rasanya masih kelas cetek untuk mengulas polemik ini.

Tapi rasanya hati dan pikiran ini juga ingin bersuara. Dan setelah ditelaah kembali, suara itu datang dari posisi saya sebagai rakyat jelata. Makanya saya putuskan untuk melihat duduk soalnya sebagai manusia Indonesia kebanyakan.

Apa itu KPK?

Melihat ke belakang di tahun 2002, tak jauh dari momen reformasi bergulir, bangsa Indonesia kian melek mengenai apa akar masalah negara ini sampai tak kunjung maju dan tertinggal, bahkan hanya sekadar dari negara tetangga terdekat. Ternyata singkatan KKN ditemukan sebagai akar masalah. Mengerucut kemudian, korupsi ditemukan sebagai biang kerok kebobrokan. 

Hasil pikir-pikir para pejabat trias politika, disimpulkan perlu lembaga baru yang independen untuk bisa mengentaskan permasalah korupsi yang menahun. Lahirlah KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaga bau kencur ini diberi amanat yang super berat, yaitu melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. UU juga mengatur posisi KPK sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Begitu yang saya kutip dari situs resmi KPK.

Kiprah KPK

Wong lembaga baru, tugasne juga bisa dikerjakeun institusi hukum lain seperti Polri dan Kejaksaan, kenapa toh mesti diagungkan-agungkan? Koreksi: lembaganya ndak agung, biasa saja dan setara dengan lembaga lain. Soal super power hanyalah persepsi dari banyak orang yang akhirnya ditahbiskan sebagai hal yang formal. Justru tugas dan amanatnya yang agung. Menilik ke latar belakang berdirinya KPK yang ingin menghentikan karir koruptor agar tidak terus menerus menggerogoti negara, dapat dipastikan potensi kasus yang akan ditemui KPK luar biasa banyaknya. Bahkan sudah tercatat dalam kontribusi KPK kepada negara dalam hampir dua dekade lembaga ini berdiri.

Dalam hal penangkapan koruptor kelas kakap, KPK sudah menangkap 13 menteri, mulai dari era Presiden Megawati sampai Presiden Joko Widodo. Dimulai dari Rokhmin Dahuri sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sampai Juliari P. Batubara yang dicokok KPK karena menilep duit bansos dengan lewat jabatannya sebagai Menteri Sosial. 

Turun ke bawah lebih fantastis lagi, keberadaan KPK sudah membuat korupsi yang dilakukan 21 gubernur dan 122 bupati/wali kota (hingga Oktober 2020) ketahuan dan menjebloskan mereka ke bui. Tak heran Lapas Sukamiskin di Bandung pun makin populer dan tingkat huniannya bak balapan dengan hunian hotel di musim liburan.

Secara substansi, KPK juga berhasil menunjukkan efektifitas keberadaannya dengan tingkat keberhasilan penuntutannya mencapai 100 persen, alias seluruh koruptor yang ditangkap dan berlanjut penuntutan oleh KPK berhasil dimasukkan ke penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Audit KPK oleh BPK juga selalu mendapat opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Ratusan triliun uang negara telah diselamatkan dari tangan koruptor yang ingin memperkaya diri sendiri yang secara tidak langsung juga dapat dikonversi menjadi perbaikan peringkat Indeks Persepsi Korupsi yang disurvey oleh Transparency International.

Pelemahan KPK (Tak Kunjung Berhenti)

Dielukan se-Indonesia bukan berarti KPK tanpa musuh. Musuh paling terang sudah pasti koruptor. Musuh yang tidak terang adalah mereka yang punya kepentingan. Kepentingan apa? Entahlah, rahasia umum ini tak kunjung tervalidasi. Dalam benak saya, KPK menjadi salah satu buah euforia reformasi. Saat itu menjadi keharusan. Tapi tak ada yang mengira, tugas yang dibebankan mampu dijalankan KPK dengan hasil yang mencengangkan. KPK bukanlah individu, tapi lembaga yang telah menjelma jadi kekuatan hukum yang disegani dan kredibel. Ia telah membuktikan diri, pergantian pimpinan dengan segala dinamikanya, tidak membuat taji dan marwahnya hilang (kecuali memang ada pihak-pihak yang ingin menghilangkannya).

Kita ingat beberapa episode fenomenal pelemahan KPK yang bak tontonan sinetron dengan rating tinggi. Istilah cicak vc buaya tentu menjadi yang paling terekam dalam ingatan untuk menunjukkan rivalitas lembaga penegak hukum. Berlanut lagi dengan upaya kriminalisasi KPK. Saya ingat di satu waktu siaran saya, ada episode breaking news di mana saat itu visual yang harus saya presentasikan di layar adalah Wakil Ketua KPK saat itu Bambang Widjojanto terborgol tangannya dan tengah dibawa oleh sejumlah petugas Polri. Mundur ke belakang Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad RIanto juga sempat mengalami upaya kriminalisasi (nama terakhir bahkan adalah seorang purnawirawan jenderal polisi). Hingga yang masih menjadi misteri adalah penyiraman air keras kepada penyidik senior Novel Baswedan, yang meski pelakunya sudah ditangkap, tak juga mampu membuka tabir aktor intelektual di belakangnya dan apa motif besar yang memicu peristiwa tersebut. Itu baru sederet peristiwa yang menyasar ke individu-individu di belakang KPK.

Belum puas, KPK juga masih dipusingkan dengan revisi UU KPK. Di sini suara rakyat yang mendukung keberadaan KPK terus meredup dan mampu diredam hingga kita pun pasrah terserahlah apa maumu wahai para petinggi negara.

Dan tentu saja jangan dilupakan alih status kepegawaian menjadi ASN yang tidak mulus-mulus amat prosesnya. Apa mau dikata, pejabat kita memang pandai bersilat lidah. Itu sebabnya mereka ada di sana dan kita di sini. Dan kekuatan dukungannya, wah luar biasa besar. Siapa yang mendukung? Mulai dari sesama rakyat biasa seperti saya namun mewakafkan diri untuk mendukung kepentingan penguasa, sampai kepada pihak-pihak yang memiliki kekuatan secara politik dan struktural.

Riuh rendah pelemahan KPK paling marak di periode 2015-2021 ini. Ingat toh bahkan Presiden Joko Widodo bak guru TK pernah menengahi KPK dan Polri di Istana Bogor tahun 2015. Hingga di 2021 Presiden Jokowi bersuara soal 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Sebuah periode penuh sandungan bagi KPK.

Dinamika 75 pegawai inipun membelalakan mata. Indikasi adanya kekuatan yang tidak sembarangan ikut bermain di belakangnya juga santer terdengar. Termasuk dalam sesi yang diadakan oleh ICW, di mana seluruh pembicara yang hadir dan para dedengkot ICW mendapat teror/intimidasi yang konon hanya bisa dilakukan oleh perangkat canggih yang tentunya tidak sembarang pihak bisa memiliki dan mengoperasikannya.

Ke mana KPK akan dibawa?

Saya tergelitik dengan pertanyaan ini. Teringat ucapan salah satu orang pandai di grup di mana saya juga ada di dalamnya. Saat mengomentari soal KPK, ia berujar “yang kita dukung lembaganya, bukan individu di dalamnya (mengacu kepada 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK). Geli saya. Kok sampeyan bisa bicara begitu tapi tidak nunjuk diri sendiri? Padahal keberadaan sampeyan jelas-jelas mendukung individu kekuasaan tertentu, bukan mendukung lembaga yang dikuasai oleh individu tersebut. Di negara yang kultus individunya masih kuat, kok bisa-bisanya kita berdalih soal individu?. Buktinya polarisasi ga berhenti-berhenti, sakin fanatiknya sama ketokohan.

Saya pribadi percaya, KPK masih dibutuhkan oleh negara ini. Sudah ratusan pejabat negara dijebloskan ke penjara saja, praktik korupsi masih terus marak. Tidak ada kata kapok di republik ini. Selama masih ada celah, sekecil apapun akan terus dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri. Persis seperti tikus yang mencari celah-celah dan jalur-jalur yang jorok yang tidak mau disinggahi siapapun kecuali si tikus itu saja.

Biarlah soal ASN ini menjadi satu episode lain dari KPK sebagaimana episode-episode sebelumnya. KPK tidak akan goyah karena ada rakyat di belakangnya. Rakyat miskin yang membutuhkan uluran tangan negara yang berasal dari APBN yang perlu diselamatkan, rakyat pembayar pajak yang sudah berkorban dan menjadi pilar pembangunan negara, rakyat yang tetap meyakini Indonesia adalah negara terbaik meski hujan batu sekalipun. Wahai negara, janganlah berkhianat kepada bangsamu sendiri. Ada amanat yang wajib engkau jawab dan jalankan. Karena negara adalah orang-orang pandai, orang-orang pilihan. Sekali lagi, itu sebabnya anda ada di sana, dan kami ada di sini. Biarkan KPK ada, biarkan KPK bekerja. Atau kami akan mencari anda para pengganggu KPK!

Jakarta, 1 Juni 2021

Teuku Parvinanda

Leave a comment